Halaman

Rabu, 08 Mei 2013

Orang Bangka di awal abad ke-19

  Beberapa tulisan dibawah mendeskripsikan tentang Orang Bangka di awal  abad ke -19

Pada tahun 1803, ketika pejabat kolonial Belanda  J.Van Bogaart mengunjungi Bangka pada saat masih di bawah kekuasaan Sultan Palembang, ia mendapatkan bahwa ada empat kelompok ("kasta") di Bangka, yang masing-masing memiliki pimpinannya sendiri, yaitu orang Tionghoa, orang Melayu (termasuk berbagai etnis dari Nusantara), orang Bukit (selanjutnya disebut Orang Gunung (goonoong), atau Orang Darat), dan Orang Laut. Orang Melayu kebanyakan aktif dalam perdagangan, dan menurut Van Den Bogaart, mengeksploitasi Orang Gunung yang adalah "kuda beban" di pulau itu, hidup dalam kelompok-kelompok yang terisolasi, mengolah umbi-umbian atau sepetak ladang, menebang kayu, membuat arang, mengangkut timah atau sebagai pemikul barang orang-orang penting yang sedang melakukan perjalanan. Di dekat pertambangan Tionghoa, biasanya terdapat perkampungan Orang Gunung atau terkadang Orang Melayu; laki-laki membersihkan lokasi tambang dan menyediakan arang untuk pertambangan, sementara yang perempuan menjual pakaian, buah-buahan dan makanan kecil kepada para penambang.

Horsfield (1813) memberi sebuah laporan menggambarkan penduduk asli Bangka (tidak termasuk "Orang Melayu") terdiri dari dua kelompok: Orang Laut - juga disebut Sekak (kebanyakan tulisan abad ke-19 menulisnya sebagai "Sekah"; ini mungkin berhubungan dengan kata Melayu untuk orang pribumi asli - sakai - atau mungkin sebutan untuk sebuah beting di muara sebuah sungai, di mana orang-orang ini berkumpul) yang tinggal di atas perahu dekat pantai, mencari nafkah sebagai nelayan dan perompak kecil. Di area dekat kepulauan Riau mereka membentuk kelompok inti pendukung bersenjata Sultan johor. Secara etnis, mereka mungkin tidak homogen, gambaran umumnya adalah hidup di atas perahu, dan beberapa di antaranya kawin dengan orang Tionghoa. Di Bangka sendiri jumlah mereka tidak pernah mencapai lebih dari beberapa ratus orang. 

Ada satu masa di abad ke -19, Belanda benar-benar mempekerjakan mereka melawan perompak lain dan melawan penyelundup. Ini tidak hanya terjadi di Bangka tetapi juga di Belitung, dimana Orang Sekak lebih banyak jumlahnya dan lebih terorganisir (mungkin mereka pindah ke Belitung ketika Bangka berada di bawah pengawasan  Eropa). Di tahun 1890-an, kelompok-kelompok kecil terdiri dari kira-kira selusin orang atau keluarga, tidak satupun Muslim, hidup di pantai timur Bangka. Menjelang abad ke-20, seluruh kelompok ini kecuali beberapa diantaranya menghilang, atau paling tidak pindah ke sebuah kehidupan yang mantap di darat. 

Yang lain, kelompok lebih besar, Orang Gunung atau Orang Darat, yaitu peladang yang berpindah-pindah, atau pengumpul hasil hutan, yang setengah mengembara, yang menurut laporan Horsfield (1813) masih sedikit dipengaruhi oleh Islam. Makanan mereka terdiri dari beras merah gunung yang dimasak, sayuran asin atau buah-buahan dan cabe hutan. Hanya mereka yang tinggal dekat pantai sering makan ikan; di gunung, madu tersedia untuk dikonsumsi dan pemburuan rusa dilakukan. Pakaian mereka dibuat dari kulit kayu dan jika mereka tinggal dekat kota-kota pasar, mereka mungkin menggunakan pakaian Melayu yang lusuh. Bahasa mereka adalah satu variasi dari Bahasa Melayu. Gambaran Horsfield tentang pertanian mereka cocok dengan peladang tebang dan bakar atau petani ladang (swah kering), yang di Indonesia, paling tidak selama musim tanam tinggal atau berada di sekitar lahan kebun. Horsfield mengatakan bahwa di seluruh Bangka hampir tidak ada "perkampungan".  

(sumber: Timah Bangka dan Lada Mentok, Mary F.Sumers Heidhues)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar